Kamis, 03 Juni 2010

NUTRISI DAN PERILAKU (NUTRITION AND BEHAVIOR)

Pendahuluan

Anggapan bahwa makanan sangat mempengaruhi perilaku seseorang sebenarnya sudah lama dikenal. Perilaku suatu bangsa atau ras sering dikaitkan dengan kebiasaan makannya. Pengertian bahwa pemakan daging sering berdarah panas, daging kambing sering meningkatkan perilaku seks seseorang, pemakan sayur sering bersifat lebih kalem, merupakan beberapa contoh anggapan masyarakat kita tentang pengaruh makanan terhadap perilaku seseorang.
Jean Anthelme Brillat-Savarin seorang filosof dari Perancis, sekitar 160 tahun yang lalu telah menulis : The Physiology of Taste, “Tell me what you eat, and I will tell you what you are”. Para sarjana Mesir kunopun telah menuliskan bahwa makanan dapat secara integral merupakan obat, baik bagi penyakit fisik ataupun psikologisnya. Sebenarnya kisah Nabi Adam dan Hawapun yang telah ditulis dalam kitab suci, tentang larangan Tuhan untuk memakan suatu buah, telah pula menggambarkan bahwa kita tidak boleh makan makanan sembarangan, karena hal demikian dapat menimbulkan penyakit fisik maupun mental (penyimpangan perilaku). Berbagai penyakit metabolik terutama yang bersifat turunan (inborn error), menunjukkan betapa besar pengaruh makanan terhadap pertumbuhan fisik maupun mental seseorang.
Penelitian terhadap hubungan nutrisi dan perilaku tidaklah mudah dilakukan; pada umumnya dilakukan dengan memakai metoda korelasi, namun dapat pula dengan melalui penelitian eksperimental (“Dietary replacement studies” atau “Dietary Challenge studies”).
Nutrisi mempengaruhi perilaku seseorang karena dapat menyebabkan penyimpangan pada otak baik anatomis maupun fungsionalnya, diantaranya dengan mempengaruhi:
• Jumlah, besar dan posisi sel neuron
• Pertumbuhan dendrit dan axon
• Pertumbuhan synaps
• Produksi neurotransmiter
• Perkembangan sel glia
• Myelinisasi dari axon

Perubahan dalam keseimbangan neurotransmiter merupakan keadaan yang sangat penting sebagai penyebab perubahan perilaku. Makanan (asam amino) dapat secara langsung berpengaruh terhadap produksi neurotransmiter, yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan perilaku. Neurotransmiter pada binatang mamalia dikenal sebanyak 30-40 bahan, mereka dibagi dalam 3 kelompok kimia:
• Kelompok asam amino: Glycine, glutamine, dan aspartat
• Kelompok peptida: endorphine, cholecystokinine, dan thyrotropin-releasing hormone
• Kelompok monoamine: acetylcholine, dopamine, norepinephrine dan serotonine

Sedangkan makanan, menyebabkan perubahan pada otak, bisa oleh karena bahan makanan itu sendiri ataupun karena terkontaminasi dengan bahan toksik yang berasal dari lingkungan seperti logam-logam berat (merkuri, aluminium, tembaga), serta bahan-bahan toksik lain.
Makanan yang kita makan atau kita berikan pada anak kita harus benar-benar tepat, tepat jenis, tepat jumlah (sesuai kebutuhan), tepat kombinasi, tepat waktu; serta harus senantiasa dimonitor atas kemungkinan terdapatnya efek samping; kadang-kadang makanan yang baik untuk seseorang anak, belum tentu baik pula untuk anak yang lain.
Sebenarnya istilah terapi nutrisi sudah lama dikenal, sehingga makanan tidak semata-mata dianggap sebagai komponen penting dalam tumbuh kembang, tetapi dianggap sebagai bagian integral dalam pengobatan, fungsi kekebalan dari makananpun sudah banyak dituliskan di berbagai publikasi ilmiah.

Kondisi sensitiv terhadap makanan
Dengan cara penelitian eliminasi-tantangan, ternyata banyak dari kelainan perilaku yang terbukti timbul akibat mengkonsumsi makanan yang sensitiv. Kelainan perilaku yang hilang pada saat dilakukan eliminasi ternyata dapat muncul kembali setelah diberi tantangan. Dikatakan bahwa hal ini terutama akibat adanya berbagai bahan aditif.
Dari kenyataan-kenyatan diatas nampaknya peranan berbagai makanan sangat penting sebagai pencetus sekaligus upaya pengobatan pada terjadinya berbagai penyimpangan perilaku. Masalahnya sering kita mengalami kesukaran dalam mencari kepastiannya, keadaan ini sekaligus merupakan penyebab rendahnya kepatuhan untuk membatasi atau menghindari makanan yang bersangkutan.

ASPEK GIZI PADA AUTISME
Autisme dikenal sebagai suatu sindroma penyimpangan perilaku pada anak yang melibatkan sistem sensoris, kemampuan komunikasi, serta kemampuan sosialisasi di masyarakat.. Autisme bukan suatu kelainan mental. Sampai saat ini upaya-upaya penyembuhannya masih bersifat simtomatis, suportif serta rehabilitatip, belum dapat dianggap sebagai tindakan kuratif. Hal ini karena selain penyebab pastinya yang belum diketahui, juga karena terdapatnya banyak variasi yang didapat pada penderita, baik pada gejalanya yang nampak, sampai pada kelainan laboratorium yang didapat serta respon terhadap upaya pengobatannya. Namun pada dasarnya disepakati bahwa penyimpangan metabolisme hampir senantiasa terdapat pada anak dengan autisme. Bahan metabolit yang terjadi sebagai hasil-antara pada proses metabolisme (sering berupa asam organik) merupakan bahan yang dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya diperkirakan sebagai penyebab terjadinya gejala seperti diatas, Keadaan ini sering pula didahului dengan gangguan pencernaan yang dianggap sebagai penyebab utama terjadinya penyimpangan metabolisme.
Jalur penyebab terjadinya penyimpangan metabolisme sering melalui proses alergi, infeksi, gangguan imunologi, infeksi, serta terjadinya perubahan flora bakteri, yang ditandai dengan perkembangan dari berbagai jamur seperti candida, yang dapat menyebabkan terjadinya ganggua pencernan yang akhirnya berlanjut mejadi penyebab terjadinya gangguan fungsi dari otak. Dikatakan bahwa sekitar 50% penyandang autisme mengalami gangguan pencernaan (Shaw W, 1998). Dari penelitian lebih jauh ternyata bahwa pemberian secretin sebagai upaya memperbaiki pencernaan, mempunyai tingkat kegagalan yang masih tinggi (sampai 40%).
Penegakan diagnosa pasti dari autisme tidaklah mudah karena banyak diantara mereka yang mempunyai penampilan normal, gejalanya sangat bervariasi dari yang sangat ringan sampai yang berat, bahkan sebenarnya banyak penyakit-penyakit lain yang memberikan gejala mirip dengan autis, seperti : “Attention Deficit Disorder” (ADD), “Pervasive Developmental Disorder” (PDD). Diagnosanya sering hanya didasarkan atas keluhan dari orang tua dan gejala yang nampak, walaupun sebenarnya diagnosa yang lebih tepat dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium terhadap berbagai kandungan asam organik baik dari darah maupun air seni. Pada umumnya gejala autis baru nampak jelas pada anak yang telah berumur 11/2-3 tahun.
Menurut laporan dari Cathy Pratt direktur “Indiana Resource Center for Autism”, angka kejadian Autisme di Amerika 10 tahun yang lalu berkisar antara 5-15 /10.000 penduduk, sekarang dilaporkan 7-48 /10.000. Edelson S.M. dari “Center for the Study of Autism”, Salem, Oregon, mengatakan bahwa prevalensi autisme di Amerika dan di Inggris berkisar sekitar 4,5 pada setiap 10.000 kelahiran hidup. Pada laporannya yang terakhir dikatakan bahwa prevalensi autisme berkisar 1/4%-1/2% dari penduduk.

Penyebab autisme
Walaupun sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti dari autisme tetapi beberapa keadaan dianggap dapat menjadi penyebabnya, diantaranya:
• Genetik, hal ini terbukti dengan lebih banyaknya kejadian autisme pada saudara kembar satu zigot, daripada mereka yang dua zigot. Bahkan terakhir telah diketemukan lokasi gen-autis; namun kemudian beberapa peneliti lain mengatakan bahwa gen itu adalah gen kelemahan sistem kekebalan, sehingga akhirnya diduga terjadinya autisme melalui proses infeksi.
• Virus, terutama virus rubella, cytomegalo, yang menginfeksi ibu hamil pada trimester pertama, sering memberikan resiko kejadian autisme yang tinggi. Bahkan dilaporkan adanya kasus autis setelah pemberian vaksinasi MMR yang diduga karena komponen campaknya, DTP karena komponen pertusisnya.
• Toksin dan polutan, dianggap pula sebagai penyebab terjadinya autisme. Hal ini terbukti dari perbandingan angka kejadian autis diberbagai daerah.
• Gangguan fungsi sistem imun, dikatakan bahwa semua keadaan yang mempengaruhi sistem imun mulai dari kejadian infeksi, tingginya polusi, sampai pada faktor genetik dapat menimbulkan autisme. Karena ternyata pada banyak penderita terdapat penurunan dari sel T-helper.
• Saat ini sedang dikembangkan teori bahwa terdapatnya gangguan pada sistem gastrointestinal (pencernaan) merupakan penyebab penting terjadinya autisme, hal ini karena terbukti pada banyak penderita autis, terdapat perkembang biakan jamur Candida albicans yang berlebihan, serta terdapat rendahnya kadar “phenyl sulfur transferase”, dan sering diketemukannya virus campak dalam sistem gastro-intestinal. Laporan tentang kasus Parker Beck yang dinyatakan sembuh dari autisnya setelah mendapat terapi hormon secretin yang berfumgsi memperbaiki pencernaan, memperkuat teori ini. Pada penelitian lebih lanjut banyak pula didapatkan kegagalan dalam upaya penyembuhan autisme dengan pemberian secretin, walau kenyataannya sekitar 50% penderita autisme mempunyai gangguan pencernaan. Jamur serta bakteri yang resisten terhadap antibiotika yang mengalami pertumbuhan berlebihan karena berbagai sebab dapat mengeluarkan bahan kimia (asam organik) yang sering disebut sebagai gliotoxin yang berpengaruh terhadap fungsi otak. Demikian pula jamur serta kuman tersebut yang menempel pada dinding usus dapat mengeluarkan enzim yang dapat merusak epitel usus dan dapat menyebabkan kebocoran “leaky gut syndrome”. Keadaan ini akan sangat mengganggu produksi enzim pencernaan yang dapat mengakibatkan tidak sempurnanya proses pencernaan. Banyak dari protein yang tidak tercerna secara sempurna akan menjadi peptida yang terserap kedalam darah dan dapat meracuni otak karena dapat berfungsi sebagai transmitter palsu, mereka dapat ditangkap oleh reseptor opioid sehingga dapat berfungsi sebagai opium atau morfin. Melimpahnya bahan-bahan yang bekerja sebagai opium kedalam otak menyebabkan terganggunya fungsi otak, dapat mengganggu bidang persepsi, kognisi, emosi serta perilaku. Kekurangan enzim pencernaan juga dapat terjadi akibat faktor genetik.

Protein yang sulit dicerna dan sering diserap sebagai peptida adalah casein (protein yang berasal dari susu sapi atau domba) dan gluten, protein gandum (“wheat, oats, rye, barley”). Peptida dari casein bila diserap kedalam otak berubah menjadi casomorphin, sedangkan dari gluten berubah menjadi gliadinomorphin atau gluteomorphin

Dalam mencari penyebabnya dalam otak, ternyata beberapa peneliti memang mendapatkan kelainan otak pada penderita autisme, tetapi mereka tidak dapat menerangkan hubungan kelainan otak yang ada dengan gejala yang nampak. Akhirnya mereka menyimpulkan bahwa pada autisme perubahan otak dapat terjadi berupa perubahan struktural maupun fungsionil yang terbukti dengan adanya penyimpangan biokimia.
Drs. Bauman dan Kemper telah melakukan penelitian post-mortem pada penderita autisme, ternyata beliau mendapatkan adanya dua kelainan didaerah sistem limbik: amigdala, dan hipokampus. Daerah ini memang dikenal sebagai pengatur emosi, agresivitas, masukan sensori, serta proses belajar. Peneliti ini juga mendapatkan adanya defisiensi sel Purkinye dalam serebellum.
Dr. Courchesne dengan memakai “Magnetic Resonance Imaging” (MRI), menemukan kelainan di dua tempat di serebellum, di lobulus vermal VI dan VII, yang ternyata ukurannya lebih kecil pada penderita autisme dibandingkan dengan anak yang normal. Daerah ini dikenal sebagai pusat untuk pemusatan perhatian.43
Pada pemeriksaan biokimia penderita autis didapatkan peningkatan kadar serotonin baik di dalam darahnya maupun dari cairan serebro-spinal, sedangkan pada kelainan-kelainan lain seperti pada Down Syndrome, ADD didapatkan penurunan. Demikian pula terbukti bahwa pada penderita autisme terdapat peningkatan kadar beta-endorphins dan “endogenous opiate-like substance”, hal ini diperkirakan sebagai penyebab terdapatnya ketahanan terhadap rasa sakit yang tinggi. Pada pemeriksaan urine sering didapatkan peptida-peptida asing, yang sebenarnya sebagai hasil sampingan metabolisme protein yang tidak sempurna.

Intervensi gizi pada autisme
Anak autis dengan berbagai macam kesukarannya harus diupayakan untuk tetap dapat bertumbuh dan berkembang secara optimal serta dapat menjadi manusia yang berguna. Diantara mereka ada yang dilaporkan sembuh serta ada pula yang sampai lulus perguruan tinggi dan menikah. Walaupun pada umumnya mereka susah untuk mencari pekerjaan karena sering gagal pada saat wawancara. Dengan diketemukannya teori bahwa salah satu penyebab dari autisme.

Adalah gangguan pencernaan dan penyimpangan metabolisme, maka peranan makanan bagi penderita autis sangatlah penting, karena disamping sebagai modal untuk tumbuh kembang juga untuk menghindari timbulnya penyimpangan metabolisme yang kalau perlu dilakukan dengan suatu intervensi.
Pemberian makanan pada bayi dan anak harus bertujuan untuk menumbuhkembangkan bayi dan anak secara optimal sehingga mereka dapat menjadi manusia yang berkualitas. Pemberian makanan yang benar dan baik akan membawanya menjadi manusia yang bergizi baik, sehingga memberikan kemungkinan yang besar bagi dirinya untuk mengembangkan seluruh potensi genetiknya secara optimal. Khusus pada anak, yang sedang bertumbuh dan berkembang, pemberian makanan yang benar sangatlah penting artinya karena pemberian makan yang salah akan sangat mengganggu tumbuh kembangnya, yang tentunya akan sangat berpengaruh terhadap kemampuannya di kemudian hari.
Organ-organ penentu kualitas manusia seperti otak, jantung, ginjal, paru, mata, tulang serta berbagai organ endokrin, pertumbuhannya sangat dipengaruhi kondisi gizi pada masa anak-anak. Sel-sel otak terbentuk sejak trimester pertama kelahiran. Pertumbuhan ini berkembang pesat selama masa prenatal dan diteruskan beberapa waktu sesudah bayi dilahirkan (postnatal), sampai bayi berumur 2-3 tahun; dengan periode tercepat pada 6 bulan pertama, sesudah itu praktis tak ada pertumbuhan lagi, kecuali pembentukan sel-sel neuron baru untuk mengganti sel-sel yang mati. Dengan demikian diferensiasi dan pertumbuhan otak berlangsung hanya sampai 3 tahun pertama kehidupan. Kekurangan gizi pada masa kehamilan akan menghambat multiplikasi sel-sel janin, sehingga jumlah sel-sel neuron di otakpun dapat pula berkurang secara permanen. Sedangkan kekurangan gizi pada masa postnatal, akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan sel-sel glia dan proses mielinisasi. Karenanya setiap gangguan gizi akibat pemberian makanan yang salah pada ibu hamil maupun anak yang berumur dibawah 2-3 tahun akan sangat mempengaruhi kualitas otaknya. Dikatakan bahwa gizi kurang yang terjadi pada anak dibawah umur 2 tahun akan menyebabkan jumlah sel otaknya berkurang sampai 15-20%, sehingga anak yang demikian kelak kemudian hari akan menjadi manusia dengan kualitas otak sekitar 80-85%. Anak yang demikian kalau disuruh bersaing dengan mereka yang berkualitas otak 100% tentunya akan menemui banyak kesukaran.
Sejak bertahun-tahun diusahakan pengobatan terhadap autisme baik secara tradisional maupun non-tradisional untuk mengurangi perilaku yang autistik. Sudah banyak pula obat yang telah dicobakan namun ternyata tidak satupun obat yang dapat memberikan manfaat yang konsisten. Saat ini obat yang masih banyak dipakai untuk penderita autis adalah Ritalin, suatu stimulan untuk mengobati “Attention Deficit/Hyperactivity Disorder”. Pemberian suplemen vit.B6, dengan magnesium, sering memperbaiki keadaan umum penderita autisme serta dapat meningkatkan kesadaran serta perhatian mereka. Suplemen lain yang dilaporkan memberikan efek baik terutama dalam kemampuan berkomunikasi adalah Di-methylglycine (DMG).
Pengaturan diet yang bebas protein casein dan gluten, dilaporkan sering memberikan hasil yang sangat menggembirakan pada penderita autisme. Hal ini karena pada penderita autisme sering terdapat intoleransi pada kedua jenis protein yang menyebabkan metabolismenya berjalan tidak sempurna sehingga terjadi peptida-peptida yang juga dapat mempengaruhi fungsi otak. Oleh karenanya pada penderita autis sebaiknya tidak diberikan susu sapi dan segala produknya (mentega, keju), serta tepung gandum (terigu, roti, biskuit dsb).
Sumber protein bisa didapatkan dari bahan makanan lain seperti kedele (susu kedele, tempe, tahu), daging sapi, ayam, ikan segar, ikan laut. Penderita sebaiknya juga tidak terlalu sering diberi makanan/kue yang manis-manis, karena makanan demikian juga akan menambah suburnya perkembangan jamur dan mikroba usus. Diet yang diberikan pada anak autis harus mampu menumbuhkembangkan anak secara normal. Substitusi terhadap berbagai nutrisi yang dieliminir harus diberikan. Pemberian multivitamin, kalsium serta minyak ikan juga dianjurkan. Pada setiap tindakan pembatasan diet, harus dilakukan dengan monitoring yang ketat, dengan berbagai pemeriksaan laboratorium yang dapat memantau gangguan metabolisme yang terjadi. Pemberian diet pada penderita autis tidaklah menyembuhkan keseluruhan gejalanya, tetapi sering dilaporkan terjadinya berbagai kemajuan pada sifat-sifat penderita.
Adanya kenyataan sering terdapatnya pertumbuhan jamur Candida albicans yang berlebihan dalam sistem gastrointestinal penderita autisme yang dapat mengeluarkan bahan toksin yang bisa mempengaruhi fungsi otak, dianggap pula sebagai suatu penyebab yang tidak boleh dilupakan dalam pengobatan penderita autisme. Hal ini sering terjadi pada penderita infeksi telinga yang sering mendapatkan obat antibiotika berlebihan. Obat anti jamur seperti Nystatin dapat diberikan dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap.
Disamping berbagai pengobatan diatas pada penderita autis sering dianjurkan berbagai fisio terapi yang menyangkut perbaikan sifat/perilaku (“behavior”) serta latihan integritas pancaindera.

Daftar pustaka

Boerhan Hidajat, Roedi Irawan, Nurul Hidayati
Divisi Nutrisi dan Metabolik Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Korespoondensi :
Dr. Boerhan Hidajat, dr, SpA(K)
Home address: Jemur Andayani 17 Surabaya 60237
Phone: 031.8412390
Fax: 031.8495055
HP: 0816505933

Tidak ada komentar:

Posting Komentar