Kamis, 03 Juni 2010

THT KOMUNITAS: MENANGANI MASALAH PENDENGARAN DAN GANGGUAN KOMUNIKASI

Berusaha memberikan pelayanan gangguan pendengaran dan komunikasi kepada masyarakat sebelum masyarakat mengeluhkan hal terebut.
Berawal dari keprihatinan Prof. dr. H. Hendarto Hendarmin, yang melihat kurangnya pelayanan dan pengobatan terhadap para penderita gangguan pendengaran dan komunikasi. Yang paling mengenaskan, banyak gangguan tersebut terjadi pada anak-anak dan terlambat terdeteksi serta tertangani. Hingga, yang seharusnya bisa disembuhkan atau diminimalisasi jadi terlambat gara-gara datang dalam keadaan sudah parah.
Karena itulah, terang dr. Semiramis, Sp.THT, THT Komunitas yang berawakan tiga orang dokter spesialis THT, dua orang speech therapy, dan satu psikolog ini, dalam menjalankan tugasnya tak hanya menunggu pasien datang ke klinik. Melainkan melakukan aksi jemput bola ke masyarakat, dengan mendatangi sekolah-sekolah dan puskesmas di daerah.
DIPERIKSA TIM AHLI
Pada pasien baru yang datang, akan dilakukan anamnesa. "Kalau anak-anak, kami akan mewawancarai orang tuanya mengenai sakit yang diderita anaknya." Setelah itu, barulah dipelajari daftar riwayat kesehatan si pasien.
Berdasarkan hasil wawancara inilah dokter THT memeriksa kondisi pasien. Tapi jika pasien tersebut telah terdiagnosa sejak awal mengalami gangguan komunikasi, akan dilakukan juga pemeriksaan yang dilakukan terapis bicara serta psikolog. "Jika hasilnya pasien tak terganggu pendengarannya, tapi mengalami gangguan komunikasi, sebelum dilakukan speech therapy, pasien akan dirujuk lebih dulu ke bagian saraf atau psikiatri."
Setelah terdeteksi, barulah pasien diobservasi oleh psikolog, terapis bicara, dan dokter THT secara terpisah. Bilamana pasien mengalami gangguan komunikasi, entah gangguan wicara, suara, bahasa, ataupun irama kelancaran (gagap, bicara terlalu cepat, dan latah), "Maka pasien akan diterapi oleh terapis komunikasi." Itu bisa dilakukan dengan catatan, tambah dr. Rosmadewi, ahli terapi komunikasi THT Komunitas, anak tak lagi mengalami gangguan medis serta saraf bicaranya terganggu. "Jika anak harus mengalami perawatan medis, maka terapinya ditunda dulu untuk menyelesaikan pengobatannya."
KEPUTUSAN DIBUAT OLEH TIM
Menurut Ros, gangguan komunikasi yang biasa dialami anak-anak adalah gangguan disaudia (gangguan bicara karena gangguan pendengaran), dislogia (gangguan bicara karena kerusakan sistem saraf pusat yang berdampak pada kemampuan kognitif), disglosia (gangguan bicara karena kelainan anatomi organ bicara, bibir, lidah, folum, ufula, rahang, dan lidah), neoromoskuler (gangguan saraf pusat, biasa terjadi pada anak CP, sehingga tubuhnya jadi lemas dan ototnya kaku, termasuk organ bicaranya), atau dislalia (gangguan bicara disebabkan faktor peniruan yang salah dari lingkungan. Jadi, semua organ bicara dan pendengaran normal, tapi karena pengaruh lingkungan, orang tua suka bicara dengan bahasa/kalimat tak benar atau karena anak dikondisikan menggunakan dua/lebih bahasa yang berbeda, maka dalam mengucapkan minum jadi mimi, susu jadi cucu, misal).
"Pokoknya semua pasien yang datang, jika didiagnosa kemungkinan mengalami gangguan komunikasi, maka akan dites untuk memastikan seberapa berat gangguannya dan masuk dalam kelompok gangguan komunikasi yang mana?" Hanya dengan begitu, lanjutnya, terapis bisa melakukan "pengobatan".
Demikian pula dengan pasien yang mengalami gangguan pendengaran, akan diobservasi lebih dulu seberapa parah gangguan yang dideritanya. Karena untuk gangguan pendengaran sendiri terbagi dua: gangguan pendengaran tuli konduktif (kelainan dari telinga luar sampai telinga tengah) dan tuli karena saraf. "Untuk tuli konduktif, pasien akan diobati lebih dulu. Tapi kalau tuli saraf, pasien akan dipakaikan alat bantu dengar." Tentunya, lanjut Semi, sebelum dikenakan alat, bagi pasien dewasa akan diperiksa dulu dengan alat audiometry. Sedangkan pada anak-anak akan diperiksa dengan BERA (alat tes untuk mengetahui gangguan pendengaran). Ini dimaksudkan untuk melihat seberapa peka pasien bisa mendengar, hingga bisa ditentukan alat bantu dengar yang akan dia kenakan.
Setelah ditemukan alat yang paling cocok, pasien pun akan dites kembali di ruangan khusus untuk mengetahui apakah pasien sudah bisa mendengar atau belum. Caranya, untuk anak, pasien diberi mainan setelah itu secara tiba-tiba akan dibunyikan suara atau bunyi-bunyian. Jika anak merespon, dengan menoleh ke arah suara, misal, bisa dipastikan alat bantu dengar tersebut cocok. Tapi jika anak tak menoleh atau merespon, bukan berarti juga alat bantu dengar tersebut tak bekerja. Sebab, ada kalanya seorang anak sangat cuek. "Karena itulah kami sangat hati-hati dalam menentukan keputusan hasil pemeriksaan. Tapi pemeriksaan dan diagnosa serta pengambilan keputusan dilakukan oleh tim."
Namun karena biasanya gangguan pendengaran dan komunikasi berhubungan, maka setelah pasien terlatih dan terbiasa dengan alat bantu yang dia kenakan, ia akan diserahkan ke bagian speech therapy. Dengan harapan pasien bisa berbicara, setidaknya bahasanya bisa dimengerti oleh orang lain.
PENDIDIKAN BAGI KELUARGA
Tak hanya itu, selain pasien, pihak keluarga pun akan diberikan pendidikan supaya bisa menerima keadaan salah satu anggota keluarganya yang menderita kekurangan tersebut. Sebab tak jarang, lanjut Nor Alatas, Psi., justru orang tua pasienlah yang harus mendapatkan penanganan ekstra. Karena, katanya, tak sedikit orang tua yang merasa bersalah setelah anaknya diperiksa dan hasilnya menunjukkan bahwa anaknya belum bisa bicara dengan jelas gara-gara orang tua yang selalu berkomunikasi dengan bahasa yang salah.
Selain itu, mereka juga memberikan penyuluhan kepada keluarga pasien. Sebab, untuk gangguan seperti ini, bagaimanapun keluarga turut andil dalam maju mundurnya perkembangan pasien.

DAFTAR PUSTAKA

THT KOMUNITAS
(Pusat Kesehatan Telinga dan Gangguan Komunikasi RSCM)
Jl. Diponegoro 71, Jakarta 10430
Telp. (021) 391 2257
Fax. (021) 390 7571

Tidak ada komentar:

Posting Komentar